Depok, MOIC
Para pelaku pemboman ditafsirkan
sempit pada nash Alquranmembuat pelaku terror atau teroris mudah didoktrin.
Kendati Detasemen 88 Anti Teror telah berulang kali menangkap pelaku terror
tersebut, namun aksi tersebut seakan tak ada habisnya. “Para teroris dalam
menjalankan aksinya memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya berdasarkan
nash agama atau Alquran. Pemahaman dan penafsiran yang terbatas membuat mereka
mau menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya,” kata Sekretaris Laboraturium
Tafsir Hadist , Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jauhar Hazizy , kepada wartawan belum
lama berselang.
Jauhar melihat para pelaku terror
yang disiapkan menjadi ‘pengantin’ (pelaku bom bunuh diri,red) memiliki
kemampuan latar belakan yang minim. Sehingga mudah sekali dibengkokan. Dia
mengungkapkan dalam menafsirkan ayat suci Alquran tidak ada apa yang disebut
dengan kebenaran tunggal. Ayat suci Alquran memiliki banyak hubungan antara
teks satu dengan ayat lain. Selain itu, imbuhnya,untuk menafsirkan teks Alquran
juga dilihat dari Asbabun nuzul ( sebab turunnya). Konteks ayat saat turun dan
sebagainya. Sehingga diperlukan ilmu pendukung lainnya untuk mendapatkan pemahaman
yang luas atas ayat-ayat suci tersebut. “ Pemahaman dan penafsiran atas ayat
yang sepotong dan kontekstual bias melahirkan sikap yang ekstrimis,”ujar
Jauhar.
Jauhar mencontohkan, dalam teks ayat
jihad sering kali dimaknai keliru dan berujung pada peperangan. Padahal, dalam
ayat lain juga menerangkan sifatnya kebolehan berperang dan memberikan maaf.
Bahkan dalam sebuah hadist perintah jihad yang pertama adalah: jihad
membahagiakan orang tua, melawan hawa
nafsu dan terakhir berperang dalam arti yang sesungguhya. Untuk itu sudah
saatnya para penceramah dalam memberikan tausiyahnya tidak memaksakan
pendapatnya saja apalagi memaksakan diri. Seperti dengan mudahnya mengkafirkan
oranglain dan mengajak untuk berperang. “ Kalau ajakan ini disampaikan di depan
masyarakat awam, bias juga memberkan dampak yang cukup serius.”paparnya.
Menurutnya, para eksekutor bom bunuh
diri sendiri memiliki latar belakang ekonomi yang lemah dan tidak berpendidikan
tinggi. Terlebih lagi, saat memiliki masalah dalam keluarga dan masyarakat dengan mudah di doktrin untuk masuk dalam
gerakan radikal. “ Coba saja lihat mereka yang punya masalah dalam
ekonomi,keluarga,pendidikan dapat dengan mudahnya terpengaruh dan ikut dalam
ekstrimis. Untuk itu, sudah saatnyamateri deradikalisasi masuk dalam kampus.
Selain itu, pada penceramah juga sudah saatnya tidak memaksakan kehendak atau
menganggap penafsirannya paling benar,”tutur Jauhar.
Hal senada diutarakan Antropolog Arif Zamhari.
Dia menilai bahwa para teroris memiliki pemahaman yang keliru pada agama Islam.
Salah satunya pada penafsiran ayat- ayat tentang jihad. Ayat tersebut banyak
dipakai mereka untuk melegalkan gerakan radikal. Meski begitu, fenomena teroris
dan aksi bom bunuh diri juga terdapat pada agama lain seperti : Kristen,Hindu
dan lainnya. “ Karena pemahaman yang keliru pada teks agama,akhirnya juga
menyimpang dalam gerakannya. Ini perlu kita waspadai,”tuturnya. ( Maulana)